Panasnya Api Tak Sepanas Asmara

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Young Lion from Tidar

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Indahnya Dunia Antara Semerbak Bunga-bunga

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Bicaralah dalam Kesendirian dan Dengarkan Suara Langit

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Api Tak Selamanya Membaka, Tapi Bisa Juga Menghangatkan Sukma

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 10 Desember 2012

RENUNGAN DAN HARAPAN



(Asmara Gumelar)

Ia masih saja duduk di atas sebongkah batu. Sinar Matahari yang telah mulai menyengat, hanya sedikit terasa mengusik. Kening dan pelipis kanan-kirinya basah oleh keringat, yang sekali-kali diusapnya dengan punggung tangannya. Suara riang dan sedikit ribut dari siswa-siswi SD yang sedang bermain mengisi waktu istirahat di sekolah itu, sama sekali tak tertangkap di memorinya. Bahkan gigitan nyamuk dan semut di lengannya juga tidak begitu terasa.

Dia masih duduk di tempat yang sama, memandang tak berkedip bangunan itu. Bangunan gedung di depan matanya itu, benar-benar telah sekian lama menjadi perhatiannya. Gedung yang sekitar 40 tahun yang lalu itu dibangun untuk Penjaga Sekolah, karena ruang kelas yang memang masih kurang, pada akhirnya gedung itu beralih fungsi sebagai ruang belajar. Bertahun-tahun bahkan sejak berdiri sampai saat ini tak pernah terjamah oleh kasih sayang para tukang salon, menyebabkan lembaran-lembaran rambut di kepalanya berkarat dan lepas tertiup angin kemarau. Dan Guru pun risau. Dan kembali mengalihkan fungsi sebagai tempat menumpuk rongsokan meja dan bangku juga tongkat-tongkat bambu.

 
Gedung itu seakan berteriak minta tolong dan menangis tersedu-sedu. Ia terhenyak kaget, seakan ia dapat mendengar semuanya. Seakan dia mendengar cerita dan keluh kesah yang disampaikan oleh seluruh bagian dari gedung itu. Lalu, dia bangkit berdiri. Makin tajam menatap gedung itu. Tampak kusen jendela dan pintu telah keropos dimakan rayap dan hujan. Demikian juga dengan daun-daunnya. Selimut di dinding-dinding telah mulai lepas dan pecah. Lantai yang dulunya lantai pengerasan dari semen, telah tak tampak lagi, berganti dengan tanah yang berlobang-lobang. Dan.......atapnya? Seng yang dulu tertata rapi dan kuat itu, kini sudah tak berbekas sama sekali. Lembaran-lembarannya telah terpisah-pisah. Ada yang menggulung, ada yang telah lepas, dan ada juga yang telah......hilang melayang! Sehingga air hujan dengan bebas jatuh dan melapukkan semua yang ada di dalamnya. Dan  kerangka atapnya.........., semua telah keropos!
Ia menyudahi semua itu. Melanjutkan seperti kemarin, kemarin, dan kemarin-kemarinnya. Menebar senyum sekaligus memaparkan cerita di depan kelas. Sesekali melatih dan mencoba. Melewati detik demi detik sampai selesai.

Pada istirahat kedua siang itu, tampak seperti biasa siswa/siswi kelas besar secara bergantian memasuki ruang kantor. Mereka kesana bukan untuk mengadu atau akan menanyakan sesuatu pada Dewan Guru. Bukan pula akan demonstrasi atas kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah. Tapi mereka kesana untuk meminjam buku-buku bacaan. Lalu dibacanya di teras-teras kelas, atau di bawah pohon rambutan di halaman sekolah itu. Mereka, calon-calon penerus bangsa ini, di waktu dan tempat yang demikian terbatas, telah hanyut dan larut bersama huruf, kata, kalimat, dan cerita di buku itu. Dan tak terasa waktu telah habis. Bagi yang belum selesai membaca, mereka minta izin membawa pulang, dan dikembalikan pada esok harinya.

Hari itu, dua jam terakhir, dia bebas berada di depan kelas. Kelasnya sedang dibawa jalan-jalan ke luar negeri untuk pembelajaran bahasa. Agar nantinya, tunas-tunas ini tidak canggung dan dapat luwes dalam bergaul di luar sana.

Ia sendirian saja di ruang itu. Tatapan matanya menabrak tumpukan buku yang tak teratur di tempat yang sangat sempit. Ia lalu jongkok dan mencoba menata kembali buku-buku yang yang sebagian besar telah berwarna kecoklatan dimakan usia. Karena memang, sudah sekitar sepuluh tahun terakhir tidak ada buku bacaan baru yang dimasukkan di tempat itu. Sambil tangannya terus bergerak, banyak andai yang sempat mampir di benaknya. Salah satunya, seandainya saja di sini memiliki satu ruang untuk.......ah, sepertinya masih sangat jauh! Buru-buru ia memutus angan-angannya

 Tanpa terasa , langkah kakinya telah membawanya ke sisi gedung yang lain yang tadi didengarnya menangis-nangis. Disandarkannya tubuhnya pada tiang tembok. Matanya menatap kosong, dan angannya melayang-layang. Kalau saja gedung ini layak pakai! Buku-buku disana dapat bernafas lega, tidak di tempat yang sangat sempit. Susunan buku dapat ditata dengan baik sesuai kelompoknya. Dapat pula anak-anak membacanya dengan nyaman, tidak pula di teras-teras atau di halaman.



Dari kantong celana dikeluarkannya sebuah alat hitung. Mulai menatap dan menekan angka-angka. Kerangka atap 1 juta, usuk dan reng 1 juta, genting 1 juta, jendela dan pintu 1 juta, lantai 1 juta, pasir semen 1 juta, cat 1 juta, rak buku 1 juta, dan tenaga 2 juta. Kemudian ia berpikir bagaimana untuk mengetahui jumlah seluruhnya. Sudah berulang kali dicobanya tetapi gagal terus, karena sebenarnya ia belum pernah menggunakan mesin hitung seperti itu. Menurut perhitungan matematikanya, untuk kembali dapat memfungsikan gedung itu membutuhkan paling tidak sepuluh juta. Darimana uang sebesar itu? Ia teringat akan gajinya juga gaji rekan-rekannya. Semuanya serba di hari Senin dan Kamis. Ah......seandainya saja guru-guru disini juga pengusaha yang sukses, pasti ini bukan suatu masalah.

Kembali ia terhenyak kaget untuk kedua kalinya. Suara panggilan dari rekan-rekannya yang sudah bersiap untuk pulang, telah menyadarkan lamunannya. Iapun beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Mengambil tas dari dalam kantor dan melangkah mendekati motornya. Sempat juga dia mengamati sekelilingnya, sudah sepi. Anak-anak sekolah sudah tidak ada lagi yang kelihatan,  demikian juga dengan rekan-rekannya. Hanya penjaga sekolah muda itu yang masih kelihatan sedang mengunci pintu kelas.

Sebelum menghidupkan mesin motornya, ia menundukkan kepala, melantumkan sebuah do’a dengan khusyuknya:

 “Ya Allah Yang Maha Pengasih........
Semoga dalam perjalanan pulangku ini
Aku menemukan sebuah tas tak berpemilik
Yang berisikan uang sepuluh juta
Atau emas permata senilai itu
Agar dapat kugunakan untuk membuat tempat buku dan tempat membaca ...................................... bagi anak-anakku
Amiiiin ................”.
                                          
Lalu ia menghidupkan mesin, dan dengan sejuta harapan mulai menempuh perjalanan pulang di atas motor tuanya.

Banjaragung, Penghujung 2012
By : Landung Yudyandoko



 Artikel terkait silahkan CLIK DISINI

Minggu, 02 Desember 2012

PENDAYUNG BUSA di KERTAS HVS


Busa putih di sana;
Terhampar di atas kaki-kaki tak bersepatu;
Tergeletak pasrah di punggung Waduk Es;
Siap tampung gemuruh kerinduan yang tertahankan batas-batas;
Bahkan airpun tak mampu untuk meresap;
Dan anginpun manabisa menembusnya.

Dalam mati di siang yang dingin tapi membara;
Saat telungkup kirimkan nyanyian puisi cinta;
Datang menyusul merebah di atas debar yang telah terbayang terjadi;
Meniup pelan sekali seakan bergerak pingsan;
Dan entah kapan semua selimut kabut melayang lepas berserakan.

Parit-parit mengalirkan darah begitu deras;
Kelopak-kelopak menjerat mata yang tertutup;
Fentilasi tubuh terbuka meniupkan nafas yang mendesah dan memburu.

Sepuluh jemari menari tak henti tak terlewatkan,
Meliuk-liuk di tiap relung dan palung yang ada;
Bibirpun berlari dari bibir bicara sampai muara di tepi laut.
    Menciumi mahkota bunga dan pendengarannya;
        Menggigit tangkai kelapa dan nyiurnya;
            Tumpukan-tumpukan pasir telah terhisap habis;
                Juga bibir basah telaganya tersentuh dan terhisap juga;
                    Dan jiwa-jiwa di atas kertas hvs makin mengejang.

Kembali tangan mendayung  melambai-lambai di atas waduk;
Yang baling-baling dengan serabutnya entah kapan telah berputar juga;
Dan untuk  menggapai dalam tiap mimpinya.
Saat bintangmu di atas cakrawala;
Sebarkan riak-riak yang menusuk;
Meski kecil samar dan dayung pendek-pendek;
Tak sanggup bergerak cepat, mengkhawatirkan.

Dan Mataharimu seperti dulu terbalik lagi;
Alunan ombak menggoyang tak ampun;
Memutar pusing kepala sang pendayung, memualkan.

Terbalik lagi;
Mendayung dan mendayung dengan cambuk yang mendera;
Nafas semakin memburu-buru;
Dan ....... sampai tujuan juga.

Padahal garis finish masih garis start juga.

Di hamparan busa yang pasrah;
Para pendayung tampak mekar segar;
Dan kicauan burung-burung kembali terdengar indah;
Menunggu dan menunggu saat kembali lagi dan lagi.

                                                                                                                   Waduk Es di awal duabelas
                                                                                                                    By : Layuudhanko

SERIBU KOTA SERIBU HATI


Pernah juga dikatakan kemarin dan dulu-dulu;
Meski kabut samarkan lirikan dalam sang dewi;
Dan bagi hati-hati;
Begitu dalam pengertiannya.

Selepas sengaja lemparkan sauh karetnya;
Selalu ngambang tak bertujuan;
Bergerak mengalir alunan ombak pergi;
Tanpa dasar yang menopangnya;
Sekedar bernafas, berjalan, tanpa berlari meski sekecil debu.

Telah berjalan melewati seribu kota;
Di sela kepakan-kepakan sayap Matahari dan Rembulan;
Bertanya tapi diam dan bisu;
Mencari bersama terpejamnya mata;
Namun hati yang selalu histeris di kehampaan;
Menjerit pada tiap-tiap waktu;
Dimana adanya.

Seribu kota seribu hati tersimpan di atas meja;
Selalu mengangkasa bersama hembusan angin;
Dan terdengar jelas namun begitu kabur bagi para pendengar;
Juga selembut selembar sutera milik permaisuri;
Meliuk-liuk indah mempesona dalam persembunyian;
Yang tak tersentuh mata sang maharaja;
Satu asa di jiwa keringnya;
Sekerdipanpun telah cukup;
Untuk melepas dahaga di musim yang selalu penghujan.

Tak terasa lelah juga bosan karena suatu keyakinan.
Seperti kisah sang musafir itu,
Yang berhenti di kota YUNANI;
Tersenyum di bawah tautan sebatang pohon 13;
Menembus lapisan langit ke 7;
Dan menghitung lalu lalang pejalan di kilometer 11.

Seribu kota seribu hati selalu mengumandang;
Sebagai kidung wajib di tiap angin berhenti bertiup.

Seribu mimpi menjelajah di seribu kota bersama;
Seribu tanya pada seribu hati disana;
Dalam tiap kesunyian dan kehampaan hati yang tak diam;
Jadikan satu tonggak sejarah di kebudayaan Yunani;
Padanya tertulis 130711.

                                                                                                             Kota Kuno, 27 Nopember 2012
                                                                                                             By : Layudhanko