Terhampar di atas kaki-kaki tak bersepatu;
Tergeletak pasrah di punggung Waduk Es;
Siap tampung gemuruh kerinduan yang tertahankan batas-batas;
Bahkan airpun tak mampu untuk meresap;
Dan anginpun manabisa menembusnya.
Dalam mati di siang yang dingin tapi membara;
Saat telungkup kirimkan nyanyian puisi cinta;
Datang menyusul merebah di atas debar yang telah terbayang terjadi;
Meniup pelan sekali seakan bergerak pingsan;
Dan entah kapan semua selimut kabut melayang lepas berserakan.
Parit-parit mengalirkan darah begitu deras;
Kelopak-kelopak menjerat mata yang tertutup;
Fentilasi tubuh terbuka meniupkan nafas yang mendesah dan memburu.
Sepuluh jemari menari tak henti tak terlewatkan,
Meliuk-liuk di tiap relung dan palung yang ada;
Bibirpun berlari dari bibir bicara sampai muara di tepi laut.
Menciumi mahkota bunga dan pendengarannya;
Menggigit tangkai kelapa dan nyiurnya;
Tumpukan-tumpukan pasir telah terhisap habis;
Juga bibir basah telaganya tersentuh dan terhisap juga;
Dan jiwa-jiwa di atas kertas hvs makin mengejang.
Kembali tangan mendayung melambai-lambai di atas waduk;
Yang baling-baling dengan serabutnya entah kapan telah berputar juga;
Dan untuk menggapai dalam tiap mimpinya.
Saat bintangmu di atas cakrawala;
Sebarkan riak-riak yang menusuk;
Meski kecil samar dan dayung pendek-pendek;
Tak sanggup bergerak cepat, mengkhawatirkan.
Dan Mataharimu seperti dulu terbalik lagi;
Alunan ombak menggoyang tak ampun;
Memutar pusing kepala sang pendayung, memualkan.
Terbalik lagi;
Mendayung dan mendayung dengan cambuk yang mendera;
Nafas semakin memburu-buru;
Dan ....... sampai tujuan juga.
Padahal garis finish masih garis start juga.
Di hamparan busa yang pasrah;
Para pendayung tampak mekar segar;
Dan kicauan burung-burung kembali terdengar indah;
Menunggu dan menunggu saat kembali lagi dan lagi.
Waduk Es di awal duabelas
By : Layuudhanko
0 komentar:
Posting Komentar